Sporty Magazine official website | Members area : Register | Sign in

ARSIP

PIALA EROPA 1960, AWAL MULA PESTA SEPAKBOLA BENUA BIRU

Rabu, 07 November 2012



Tahun 1960 menjadi pesta pertama sepakbola di benua biru. Uni Soviet menjadi negara pertama yang mengukir sejarah dengan menjadi kampiun.

Sebanyak 17.966 penonton yang berada di Stadion Parc de Princes, Paris, Prancis menjadi saksi kesuksesan Uni Soviet saat menaklukkan Yugoslavia 2-1 dalam pertandingan final dengan perpanjangan waktu.

Sempat tertinggal lebih dulu oleh gol Milan Galic di menit 43, Metreveli bisa menyamakan kedudukan saat babak kedua baru berjalan empat menit. Viktor Ponedelnik akhirnya menjadi penentu sukses Uni Soviet lewat golnya di menit 113 setelah di masa normal skor 1-1 tetap bertahan.

Di turnamen pertama Piala Eropa ini, kompetisi menggunakan sistim knock out. Sebanyak 17 tim menjadi kontestan dengan beberapa tim yang terpaksa absen karena berbagai alasan, seperti Jerman Barat, Italia dan Inggris.

Tiap tim yang ambil bagian akan melakoni laga home and away hingga babak semifinal. Setelah empat tim yang memasuki semifinal diketahui, tuan rumah baru ditunjuk.

Uni Soviet diuntungkan oleh keputusan Spanyol yang menolak untuk berlaga di kandang tim yang dikapteni kiper legendaris Lev Yashin itu. Alhasil, Uni Soviet pun melenggang ke semifinal tanpa harus mengeluarkan keringat.

Uni Soviet Menjadi Juara Euro Edisi Pertama

Tiga tim lain yang masuk semifinal adalah Cekoslovakia, Yugoslavia dan tuan rumah Prancis. Cekoslovakia gagal membendung Uni Soviet dan akhirnya kalah 3-0, sementara Yugoslavia menaklukkan tuan rumah 5-4. Milan Galic saat pertandingan ini juga mencatat sejarah sebagai pemain yang mencetak gol tercepat, yaitu di menit ke-11.

Di perebutan tempat ketiga, Cekoslovakia mempermalukan Prancis dengan skor 2-0. Sementara di partai puncak, Ponedelnik menjadi pahlawan Uni Soviet lewat golnya tujuh menit menjelang masa perpanjangan waktu berakhir. Lev Yashin dkk menang 2-1.

Putaran final Euro 1960
Tuan rumah: Prancis
Waktu: 6-10 Juli 1960
Tim: 4
Juara: Uni Soviet
Runner up: Yugoslavia
Jumlah pertandingan: 4
Total gol: 19 (4,75 per game)
Topskorer: Francois Heutte (Prancis), Valentin Ivanov (Uni Soviet), Viktor Ponedelnik (Uni Soviet), Milan Galic (Yugoslava), Drazan Jerkovic (Yugoslavia) – 2 gol
Partai final : Uni Soviet 2 Yugoslavia 1
Waktu : 10 Juli 1960
Tempat : Parc des Princes, Paris
Penonton : 17.966
Skor : 2-1
Gol: Galic 42’ (0-1); Metreveli 49’ (1-1); Ponedelnik 113’ (2-1)
Wasit : Ken Ashton (Inggris)

SEJARAH SARUNG TANGAN KHUSUS KIPER



Pemakaian sarung tangan oleh kiper memang sudah dikenalkan Amadeo Carrizo pada medio 1940-an. Akan tetapi, sarung tangan yang dikenakan pada waktu itu masih terbuat dari wol dan biasanya hanya dikenakan pada musim dingin untuk mereduksi sengatan udara dingin yang bisa membekukan jemari tangan. Nah, sarung tangan khusus kiper baru dibuat pada 1970-an, tepatnya pada 1973.

Kala itu, Gebhard Reusch yang menjabat sebagai pemimpin perusahaan sarung tangan Reusch menggandeng Sepp Maier, kiper timnas Jerman Barat, untuk merancang sarung tangan khusus guna meningkatkan kinerja para kiper. Mereka melakukan beberapa uji coba terhadap bahan-bahan berbeda guna mendapatkan sarung tangan yang tepat.

Sebenarnya Reusch baru punya pengalaman satu tahun membuat sarung tangan khusus untuk olahraga, terutama ski. Tujuan utamanya adalah untuk melindungi para atlet dari cuaca dingin dan medan yang dilalui. Nah, ketika memutuskan membuat sarung tangan untuk kiper, fungsi protektif dikesampingkan karena fungsi membantu menangkap bola lebih mengemuka.

Sarung Tangan Kiper Merk Reusch

Hal yang unik, bukan hanya Reusch yang memberi tawaran kerjasama kepada Maier. Kiper Bayern Muenchen itu ternyata sempat menerima tawaran sejenis dari Karl Krumpolz. Tapi, karena Krumpolz tak punya pabrik sendiri, Maier lantas lebih memilih Reusch.

Menurut Maier, Reusch berhasil membuat sarung tangan khusus yang terbuat bahan lateks untuknya dalam waktu hanya dua hari. Sarung tangan bersejarah itu pada dasarnya merupakan pengembangan dari sarung tangan karet yang biasa digunakan di bidang kesehatan.

Sepp Maier dengan Produk Reusch

Ujian terhadap produk baru hasil kerjasama Reusch dan Maier terjadi pada Piala Dunia 1974. Hasilnya positif. Maier sebagai kiper utama timnas Jerman Barat berhasil membawa Die Nationalmannschaft menjadi juara. Di final, sarung tangan Reusch menjadi salah salah satu pembeda timnas Jerbar dengan lawannya, Belanda. Maklum, Jan Jongbloed mengawal gawang timnas Belanda tanpa sarung tangan.

KEPELOPORAN PETAR RADENKOVIC



Petar Radenkovic boleh dibilang sial. Dia mencuat seiring melesatnya kiper Uni Soviet, Lev Yashin, yang lantas disebut sebagai kiper terbaik dunia. Padahal, sebenarnya pria yang akrab dipanggil Radi ini tak kalah dibanding Yashin. Bahkan, dalam beberapa hal, dia melebihi kiper yang dijuluki Black Spider itu.

Radi adalah pelopor, terutama di sepak bola Jerman. Kiper asal Yugoslavia ini adalah satu dari hanya tiga pemain asing yang merumput pada pekan pertama saat Bundesliga digulirkan pada 1963. Sudah begitu, dia juga pelopor kiper yang tidak hanya berada di daerah gawangnya tapi juga merangsek hingga kotak penalti lawan.


Selain itu, dia juga pelopor selebriti lapangan hijau. Radi punya kerjaan sampingan sebagai model dan penyanyi. Kiprahnya di sana sama suksesnya dengan di lapangan hijau. Jika di lapangan hijau dia sempat meraih gelar juara Bundesliga, Piala Jerman, Piala Yugoslavia, dan medali perak olimpiade, di bidang tarik suara pun kiprahnya mengagumkan.

Buktinya, salah satu single-nya, Bin i Radi, Bin i Koenig yang dirilis April 1965 terjual sebanyak 400 ribu kopi dan sempat nangkring di posisi kelima chart Jerman pada tahun itu. Dalam lagu tersebut terdapat bait yang mengilustrasikan kelakuannya di lapangan yang berani sekaligus humoris.


Lagu itu juga menjadikannya perintis tradisi pebola-penyanyi yang lantas sangat popular di Jerman. Di antara yang mengikuti jejaknya adalah Gerd Mueller dan Franz Beckenbauer, dua bintang Die Nationalmannschaft

AMADEO CARRIZO PELOPOR KIPER BERSARUNG TANGAN

Senin, 05 November 2012



Satu ciri khas yang melekat pada seorang kiper dan membedakannya dari pemain lain adalah sarung tangan yang membungkus jemari dan telapak tangan. Namun, tahukah kamu, siapa penjaga gawang pertama yang memakainya? Dialah Amadeo Carrizo, salah satu kiper terbesar dan terbaik yang pernah dimiliki Argentina.

Carrizo memulai debut profesional bersama River Plate saat umurnya baru menginjak 19 tahun. Tak diketahui pasti apakah pada saat itu dia sudah mengenakan sarung tangan untuk memproteksi tangannya. Namun, satu hal yang jelas, Carrizo mulai memakainya antara dekade 1940-an dan 1950-an.

Sarung tangan yang dipakai Carrizo tentu belumlah seperti saat ini yang didesain dengan tingkat keamanan yang tinggi bagi pemakainya. Carrizo hanya memakai sarung tangan dari bahan kain biasa.


Ini sebuah terobosan baru karena di Eropa sendiri tren penggunaan sarung tangan oleh kiper baru marak pada 1970-an. Itu pun beberapa kiper justru merasa terbebani olehnya. Hingga 1980-an, masih banyak kiper yang tak suka memakai sarung tangan. Mereka hanya memakainya jika cuaca tidak bersahabat.

Sebelum teknologi sarung tangan diperkenalkan, para kiper tak berbeda jauh dengan para pemain di posisi lain. Pasalnya, saat berusaha menyelamatakan gawang dari gempuran lawan, mereka biasanya meluncur dengan kaki terlebih dahulu, tak ubahnya seorang bek saat melakukan tekel. Bahkan para kiper nomor wahid macam Frank Swift, Ted Ditchburn, dan Bert Trautmann pun melakukan hal serupa.

Selain sebagai pemakai sarung tangan pertama, Carrizo yang dijuluki Tarzan dan Si Mesin ini juga dikenal sebagai pelopor kiper yang tak ragu keluar dari wilayahnya. Menurut Eduardo Galeano, penulis buku Soccer in Sun and Shadow, Carrizo-lah kiper pertama yang tak ragu memulai serangan dan menggiring bola melewati pemain lawan. Sebelum Carrizo, tindakan gila seperti itu tak pernah terpikir sebelumnya. 

PERINTIS PERTAMA PEMAIN AFRIKA DI EROPA



Saat ini, kita mengenal banyak pebola berkulit hitam asal Afrika yang menjadi bintang di Eropa. Sebut saja Samuel Eto’o, Didier Drogba, Yaya Toure, Kolo Toure, Michael Essien, Nwankwo Kanu, dan Emmanuel Adebayor. Sebelumnya, ada nama-nama George Weah, Abedi Pele, Daniel Amokachi, dan Anthony Yeboah yang lebih dulu menyandang predikat sebagai superstar.

Akan tetapi, tahukah kamu siapa superstar pertama asal benua hitam itu? Dialah Steve Mokone, pemain asal Afrika Selatan era 1950-an hingga 1960-an. Julukannya The Black Meteor. Mokone adalah tonggak awal pebola berkulit hitam asal Afrika di kancah sepak bola profesional Eropa kala bergabung dengan Coventry City pada 1955-56.

Status pemain hitam Afrika pertama juga disandangnya saat menjajal Liga Belanda pada 1958-59 bersama Heracles Almelo. Di sinilah dirinya meraih status superstar. Tak tanggung-tanggung, dia disejajarkan dengan Alfredo di Stefano dan Ferenc Puskas, dua pemain terbaik Eropa kala itu. Dia pun kerap dibanding-bandingkan dengan Pele.

Salah satu bukti kehebatan pemain yang bakatnya sudah menarik perhatian sejak berumur 16 tahun itu adalah kala mencetak hat-trick ke gawang Dynamo Kiev dalam sebuah partai persahabatan bersama klubnya, Torino. Dialah orang pertama yang sanggup melakukannya ke gawang Kiev, klub terbaik Uni Soviet pada waktu itu.

Seorang kolomnis asal Italia, Giuseppe Branco tak ragu-ragu menulis bahwa jika Pele adalah Rolls-Royce, Stanley Matthews adalah Mercedes-Benz, dan Di Stefano adalah Cadillac, Mokone adalah Maserati-nya sepak bola. Sebutan itu diberikan saat pemain kelahiran Doornfontein itu membela Torino pada 1961.

Pengakuan lain atas kiprahnya bisa terlihat dari pengabadian namanya menjadi nama jalan di Amsterdam dan nama salah satu tribun di Stadion Polman, markas Heracles. Pemerintah Afrika Selatan sendiri pada 2003 menganugerahkan The Order of Ikhamanga Gold. kepada pemain yang pada 1950-an sudah mendapat bayaran 10 ribu pounds itu.


Hebatnya, Mokone juga sukses di jalur pendidikan. Saat mengakhiri karier gemilangnya pada 1964, dia kuliah di Rutgers University, AS, dengan mengambil studi psikologi. Tujuh tahun kemudian, dia diangkat sebagai asisten profesor bidang psikologi di University of Rochester setelah berhasil menyabet gelar doktor. 

SEJARAH PENGHARGAAN EBBENHOUTEN SCHOEN


Di sepak bola, Belgia memang punya ikatan kuat dengan Afrika. Negeri ini dikenal sebagai gerbang pertama para pebola Afrika yang mengadu nasib di Eropa. Banyak bintang sepakbola Afrika yang memulai kiprah gemilangnya di negeri ini. Sebut saja Victor Ikpeba, Samson Siasia, Celestine Babayaro, dan Daniel Amokachi.

Saking kentalnya hubungan Belgia dengan Afrika, di Jupiler League sejak 1992 ada penghargaan khusus yang diberikan kepada pemain berdarah Afrika. Namanya Ebbenhouten Schoen. Penerima penghargaan tahunan ini ditentukan oleh dewan juri yang terdiri dari para pelatih klub anggota Jupiler League, pelatih timnas Belgia, para jurnalis olahraga, dan beberapa juri kehormatan.

Pemain pertama yang berhasil menggondol trofi ini adalah Daniel Amokachi, striker bertenaga kuda asal Nigeria yang kala itu membela Club Brugge. Dalam kurun empat tahun kemudian, para pemain Nigeria selalu mendominasi.

Daniel Amokachi

Baru pada 1997 dominasi Nigeria runtuh ketika striker timnas Belgia, Emile Mpenza, terpilih sebagai pemain berdarah Afrika terbaik. Uniknya, Mpenza menjadi pemain non-Afrika pertama yang meraih penghargaan ini. Darah Kongo dalam dirinyalah yang membuatnya bisa merebut Ebbenhouten Schoen.

Tahun lalu, gelar pemain berdarah Afrika terbaik di Belgia itu jatuh ke tangan midfielder AA Gent, Moubarak Boussoufa. Dia menjadi pemain Afrika Utara kedua yang meraih gelar ini setelah Ahmed Hossam Mido pada 2001. Uniknya, Mido juga merebutnya kala berada membela panji Gent.

Daftar Peraih Ebbenhouten Schoen:
1992 Daniel Amokachi (Nigeria/Club Brugge)
1993 Victor Ikpeba (Nigeria/RFC Liege)
1994 Daniel Amokachi (Nigeria/Club Brugge)
1995 Godwin Okpara (Nigeria/Eendracht Aalst)
1996 Celestine Babayaro (Nigeria/Anderlecht)
1997 Emile Mpenza (Belgia/Mouscron)
1998 Eric Addo (Ghana/Club Brugge)
1999 Souleymane Oulare (Guinea/Genk)
2000 Herve Nzelo-Lembi (Kongo/Club Brugge)
2001 Ahmed Hossam (Mesir/AA Gent)
2002 Moumouni Dagano (Burkina Faso/Genk)
2003 Aruna Dindane (Pantai Gading/Anderlecht)
2004 Vincent Kompany (Belgia/Anderlecht)
2005 Vincent Kompany (Belgia/Anderlecht)
2006 Moubarak Boussoufa (Maroko/AA Gent)
2007 Mohammed Tchité (Burundi/Anderlecht)
2008 Marouane Fellaini (Belgia/Standard Luik)
2009 Mbark Boussoufa (Belanda/Anderlecht)
2010 Mbark Boussoufa (Belanda/Anderlecht)
2011 Romelu Lukaku (Belgia/Anderlecht)
2012 Dieumerci Mbokani (Kongo/Anderlecht)

SEJARAH MENSPONSORI STADION DI LIGA INGGRIS



Belakangan ini stadion dengan nama-nama sponsor seperti sudah menjadi tren. Tak terkecuali di Inggris. Sembilan tahun lalu, tepatnya 5 Oktober 2004, Arsenal mengikat kerja sama dengan maskapai Emirates Airlane untuk menjadi sponsor stadion senilai 100 juta pounds untuk masa 15 tahun mulai musim 2006-07. Jadilah kandang The Gunners dinamai Stadion Emirates.

Bukan hanya klub sekelas Arsenal yang melakukan hal tersebut. Pada 9 Mei 2007, Walsall, klub yang musim depan promosi ke League One, resmi mengubah nama markasnya, Stadion Bescot, menjadi Stadion Bank’s.

Hal itu sebagai konsekuensi atas kerja sama yang sponsorship dengan perusahaan minuman beralkohol, Marstons yang salah satu produknya bernama Banks’s. Nilainya sendiri hanya 250 ribu pounds per tahun untuk masa lima tahun ke depan.

Lalu, sejak kapan sebenarnya tren stadium sponsorship ini berlangsung? Selidik punya selidik, tren ini baru muncul pada akhir 1980-an, tepatnya 1988. Kala itu, tepatnya, Agustus 1988, Scarborough resmi mengikat kerja sama dengan perusahaan makanan ringan, McCain dan mengganti nama markasnya dari Athletic Ground menjadi Stadion McCain.

Tak diketahui secara persis berapa uang yang harus dikeluarkan pihak McCain untuk menjadi sponsor stadion klub yang berada di North Yorkshire tersebut. Hal yang menarik, Boro bukanlah sebuah klub dengan reputasi mentereng. Pada masa itu, mereka hanya bercokol di Divisi IV (Setara League Two, -Red.)!

Ada satu lagi yang menarik. Gara-gara dinamai sesuai perusahaan makanan yang terkenal dengan produksi kentang goreng itu, stadion yang terletak di Seamer Road tersebut lantas dijuluki Theatre of Chips.

Setelah Scarborough, klub yang juga memiliki stadion dengan nama sponsor adalah Bolton Wanderers (Stadion Reebok), Manchester City (Stadion Etihad), Wigan Athletic (Stadion JJB), York City (Stadion Kit Kat Crescent), dan Leicester City (Stadion Walkers). 

SEJARAH BERDIRINYA ATLETICO MADRID

Kamis, 01 November 2012



Atletico Madrid pada awalnya didirikan pada April 26, 1903 sebagai Athletic Club de Madrid oleh tiga basque mahasiswa yang tinggal di Madrid. 

Para pendiri klub pada dasarnya dianggap sebagai cabang dari klub Basque Athletic de Bilbao dan di awal bagian dari sejarah, klub berkaitan erat dengan Athletic de Bilbao dan memiliki beberapa kesamaan termasuk warna dari seragam.

Tetapi pada tahun 1939 setelah Perang Saudara Spanyol hal-hal yang telah berubah dan klub Madrid kemudian berubah nama menjadi Athletic Aviación de Madrid setelah bergabung dengan Aviación Nacional dari Zaragoza.

Athletic Aviación de Madrid

Setelah memenangkan kejuaraan Spanyol pada tahun 1940 dan kemudian berhasil mempertahankannya tahun berikutnya, klub harus mengubah namanya lagi. 

Kali ini menjadi Aviación Atletico de Madrid setelah Jenderal Francisco Franco mengeluarkan dekrit melarang tim dari menggunakan nama-nama asing. Pada 1947, mereka memutuskan untuk menjatuhkan asosiasi militer dari nama dan menjadi, akhirnya, Club Atletico de Madrid.

Selama sejarah Atletico, klub ini telah dikenal oleh sejumlah nama panggilan, termasuk Los Colchoneros (Para Pembuat Kasur), karena garis-garis pada jersey pertama mereka menyerupai warna yang sama dengan kasur kuno. Selama 1970-an, mereka menjadi dikenal sebagai Los Indios, diduga karena klub membeli pemain Amerika Selatan setelah beberapa pembatasan pada penandatanganan pemain asing diangkat.

Prestasi Atletico Madrid:
La Liga: 1939–1940, 1940–1941, 1949–1950, 1950–1951, 1965–1966, 1969–1970, 1972–1973, 1976–1977, 1995–1996
Copa del Rey: 1960, 1961, 1965, 1972, 1976, 1985, 1991, 1992, 1996
Piala Super Spanyol: 1985
Piala Interkontinental: 1974
Piala Winners: 1962
Piala Intertoto: 2007
Liga Eropa UEFA: 2009–10, 2011–12
Piala Super UEFA: 2010, 2012

SILVIO PIOLA, NAMANYA DIABADIKAN DI DUA STADION



Silvio Piola merupakan salah satu legenda Italia. Dilahirkan pada 29 September 1913, pemain yang berposisi striker itu melanglang buana dengan memperkuat lima klub berbeda di Italia.
Awal kariernya dimulai di Pro Vercelli. Dia memperkuat klub tersebut antara 1929 dan 1934. Setelah itu, dia hijrah ke Lazio.
Bersama Lazio, dia merasakan prestasi menjadi runner-up pada musim 1936-37. Dia juga berjasa membawa Italia menjadi juara Piala Dunia 1938 berkat dua golnya pada laga puncak. Pada musim terakhir di Lazio, 1942-43, dia menjadi top skorer Serie-A dengan torehan 21 gol dari 22 laga.

Sempat satu musim membela Torino, Piola lalu membela Juventus pada 1945 hingga 1947. Dalam dua musim, dia harus puas hanya berada di posisi kedua di bawah Torino.
Menginjak usia 34 tahun, dia memilih bergabung dengan klub Serie-B, Novara. Klub tersebut dibawanya meraih tiket promosi pada musim pertamanya, hingga akhirnya pensiun pada 1953-54.
Sepanjang kariernya, Piola tampil 537 pada laga Serie-A, terbanyak keempat setelah Paolo Maldini, Gianluca Pagliuca, Javier Zanetti, Dino Zoff, Pietro Vierchowod, dan Roberto Mancini.
Dengan torehan 274 gol, Piola menjadi top skorer sepanjang masa Serie-A hingga kini. Jauh meninggalkan Gunnar Nordahl di posisi kedua dengan 225 gol.

Pada 4 Oktober 1996, Piola berpulang. Usai kematiannya, nama Piola diabadikan di dua stadion sekaligus. Pada 1997, kandang Novara berganti nama menjadi Stadio Silvio Piola. Setahun berselang, nama yang sama dipakai di Vercelli.

SEJARAH STADION OLIMPICO ROMA



Stadion Olimpico Roma merupakan salah satu stadion yang terletak di Roma, Italia. Stadion ini memiliki kapasitas 82.307 kursi. Stadion ini merupakan kandang dari Klub sepak bola S.S. Lazio dan AS Roma.

Italia sudah dua kali menjadi penyelenggara Piala Dunia. Pertama, tahun 1934, Piala Dunia diselenggarakan di Stadio Del PFN, dan yang kedua, yakni final Piala Dunia 1990 di stadion ini. Stadion ini juga menjadi saksi sejarah gagalnya kesebelasan AS Roma meraih gengsi melalui finalti melawan Liverpool pada 1984. Pada Juni 2001, jutaan miliar dolar disuntikkan untuk renovasi stadion tersebut.

SEJARAH
Stadion ini sampai saat ini masih berdiri megah di Foro Italico Sport Compleks di kaki bukit Monte Mario. Stadion ini merupakan warisan yang bersejarah saat fasis berkuasa atas nama Benito Mussolini saat itu. Pada awalnya, stadion tersebut dibangun atas perintah Mussolini sebagai stadion Partai Fasis Nasional (Stadio dell Partido Nazionale Fascista) untuk menyambut Olimpiade 1944. Boleh dikata ini hasil inspirasi Adolf Hittler saat membangun stadion Olimpiade Berlin 1936 sebagai propaganda politik.


Pecahnya Perang Dunia Kedua membuyarkan harapan Roma untuk menjadi tuan rumah Olimpiade 1944, namun stadion tersebut akhirnya digunakan pada Olimpiade 1960. Sejak itu, selain menyelenggarakan kejuaraan dunia atletik 1987, sebagian besar stadion tersebut digunakan untuk pertandingan sepakbola. Stadion Olimpiade berturut-turut menjadi tuan rumah putaran final Piala Dunia 1990, kejuaraan Eropa 1968 dan 1980, serta final kejuaraan antar-klub Eropa 1977, 1984 dan 1996, serta tidak terhitung pertandingan internasional lainnya.

Namun untuk saat sekarang, Roma dan Lazio yang sudah menggunakan stadion tersebut selama setengah abad mulai 1953, terpaksa melupakan nostalgia nilai sejarah. Keinginan untuk membela stadion tersebut muncul untuk pertama kali pada 2000 lalu. Tekanan dari presiden klub Lazio Sergio Cragnotti dan presiden AS Roma Franco Sensi akibat kesulitan dana, membuat keinginan untuk memiliki stadion tersebut semakin deras.

Denah Stadion Olimpico

Sementara pemerintah Italia menginginkan agar seluruh stadion yang digunakan untuk Piala Dunia 1990 diprivatisasi. Namun untuk melakukan privatisasi jelas bukan hal yang mudah dan bisa memakan waktu lama karena membutuhkan perangkat hukum. "Saya dari dulu mendukung konsep privatisasi tersebut. Saya yakin ini hanya masalah waktu," kata Carraro yang menjabat sebagai Presiden Liga Italia selama 10 tahun sebelum kemudian berubah menjadi federasi. Carraro menyatakan keyakinannya bahwa rencana tersebut akan didukung oleh Presiden CONI Gianni Petruccci dan walikota Roma Walter Veltroni yang semula bersikap skeptis.


Saat ini, tidak ada satu pun ibukota negara Eropa yang tidak mempunyai klub divisi satu dan akan sulit membayangkan jika masyarakat Roma akan mendapatkan Stadion Olimpiade yang kosong jika AS Roma dan Lazio benar-benar hengkang ke luar kota.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Pencarian

Translate