Sporty Magazine official website | Members area : Register | Sign in

ARSIP

Tampilkan postingan dengan label Legenda. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Legenda. Tampilkan semua postingan

ALCANTARA, DOKTER YANG LEBIH TAJAM DARI MESSI

Jumat, 24 Mei 2013



Siapa top scorer Barcelona sepanjang masa? Jika menyebut Lionel Messi, maka itu benar. Namun, menjawab Paulino Alcantara pun ternyata benar. Siapakah Alcantara?

Messi memang tercatat sebagai pencetak gol terbanyak Barcelona dengan 265 gol. Tapi, balik ke masa lalu, "Blaugrana" pernah memiliki seorang mesin gol mematikan bernama Paulino Alcantara Riestra. Tebak berapa jumlah gol Alcantara selama berseragam "El Barca"? 369 gol dalam 357 pertandingan!

Sayangnya, kompetisi resmi Liga Spanyol baru berlangsung 1929. Alhasil, seluruh gol Alcantara saat itu tak dianggap, meski Barcelona tetap mengklaim jika jumlah gol sang pemain tetap 369 gol di ajang resmi dan persahabatan.

Lahir 7 Oktober 1896 di Iloilo City, Filipina, pada usia tiga tahun Alcantara bermigrasi ke Barcelona, Spanyol. Menginjak usia 15 tahun, Alcantara mencicipi debutnya di Barcelona. Bakat luar biasa Alcantara langsung tercium dengan torehan hat-trick pada debutnya.

Dari periode 1912-16, meski masih berusia muda, Alcantara sudah menjadi andalan lini depan "Azulgrana". Tiga gelar sukses dipersembahkan Alcantara pada periode tersebut.

Kuliah Kedokteran
Pada 1916, keluarga Alcantara kembali ke Filipina. Alhasil, Alcantara pun ikut pulang ke kampung halamannya dan meninggalkan klubnya itu. Selama di Filipina, Alcantara lantas bergabung dengan klub lokal, Bohemians Sporting Club. Dia juga sempat bermain untuk timnas Filipina pada 1917 dan membawa negaranya mengalahkan Jepang 15-2 di sebuah turnamen mini.

Bermain sepak bola tak lantas membuat Alcantara lupa dengan pendidikan formal. Sambil berkiprah sebagai pemain, Alcantara juga belajar di bidang kedokteran. Sejak kecil, Alcantara memang bermimpi ingin menjadi seorang dokter. Nasib ternyata membawa mimpinya lebih lengkap. Menjadi pemain Barcelona dan seorang dokter.

Saking fokus terhadap karier kedokterannya, Alcantara pernah menolak ajakan timnas Spanyol untuk berlaga di Olimpiade 1920. Dia menolak lantaran jadwal Olimpiade 1920 berbarengan dengan ujiannya di kedokteran. Setelah pensiun, Alcantara meneruskan karier menjadi seorang dokter.

Kembali ke Barcelona
Setelah dua tahun menetap di Filipina, Alcantara akhirnya kembali ke Spanyol. Mulai saat itulah, karier Alcantara bersama Barcelona melejit bak meteor. Kematangan bermainnya semakin lengkap pada usia 23 tahun.

Barcelona pun dibawanya merajai kompetisi amatir papan atas Spanyol. Di bawah asuhan Pelatih Jack Greenwell, Alcantara berubah menjadi predator "Blaugrana" di kotak penalti lawan. Dari 1912-27, Alcantara setia mengabdi di Barcelona dengan menorehkan rekor 369 gol.

Karier internasional Alcantara juga lumayan lengkap. Tak hanya Filipina yang pernah dibelanya, Alcantara saat itu juga menjadi bagian timnas Spanyol dan Catalunya. Maklum, pada zaman itu, pemain bisa bebas membela negara tempatnya menetap.

Aksi Dari Paulino Alcantara

Ada momen unik yang membuatnya dijuluki "El Romperedes" yang artinya perobek jaring. Pada 1922 saat membela Spanyol, Alcantara pernah merobek jaring gawang Perancis melalui tendangan kerasnya yang berbuah gol dari jarak 32 meter. Bisa dibayangkan sekeras apa tembakan Alcantara ketika itu, hingga jaring gawang pun sampai robek.

Alcantara memutuskan pensiun pada usia 31 tahun. Dia mengembuskan napas terakhir pada 13 Februari 1964 saat usianya 67 tahun.

Selama 48 tahun sudah Alcantara tiada. Namun, Barcelona, Bohemians, timnas Catalunya, Spanyol, dan Filipina boleh berbangga pernah diperkuat pemain tertajam "Blaugrana" sepanjang sejarah, Paulino Alcantara!

Sumber: Kompas.com

AKHRIK TSVEIBA, PEMAIN DI TIGA TIM NASIONAL

Kamis, 04 April 2013



Pada 7 Februari 1997, pemain kelahiran USSR, Akhrik Tsveiba masuk ke dalam jajaran elite pebola setelah menorehkan caps pertama bersama Rusia. Pasalnya, Rusia menjadi negara ketiga yang pernah diperkuat Tsveiba sepanjang karier profesionalnya.

Pada 1990, saat usanya menginjak 33 tahun, Tsveiba memulai petualangan di kancah sepak bola internasional dengan melakoni debut di timnas Uni Soviet. Dia menorehkan 25 penampilan, tujuh diantaranya bersama CIS (pecahan Uni Soviet).

Pada 26 Agustus 1992, setelah pembubaran CIS, Tsveiba lantas memilih membela timnas Ukraina dan melakoni debutnya pada laga persahabatan melawan Hungaria. Namun, lima bulan berselang, dia memilih menyeberang ke negara pecahan Uni Soviet lain, Rusia.

Penampilan pertama bersama Rusia datang pada 7 Februari 1997 pada laga pembuka Carlsberg Cup. Saat itu Rusia menang adu penalti 6-5 melawan Yugoslavia setelah dalam waktu normal hanya berbagi skor imbang 1-1. Rusia sendiri berhasil menjadi juara setelah menang atas Swiss di final. Tsveiba sendiri memutuskan pensiun dari kancah internasional pada tahun yang sama.

Saat kebanyakan pebola hanya pernah bermain bersama dua timnas, Tsveiba menjadi satu dari tujuh pemain sepanjang sejarah yang mencatat sejarah bersama tiga negara. Tiga diantaranya memiliki rekam jejak serupa dengan Tsveiba, yakni Yury Nikiforov, Andrei Pyatnitskyi dan Sergei Mandreko. Sementara tiga lainnya, Josef Bican (Austria, Czechoslovakia, Bohemia & Moravia), László Kubala (Czechoslovakia, Hungaria dan Spanyol), lalu Karel Burkert (Bulgaria, Czechoslovakia, Bohemia & Moravia).

sumber: Duniasoccer

NILS LIEDHOLM, AKTOR KEJAYAAN SWEDIA, AC MILAN DAN AS ROMA

Jumat, 28 Desember 2012


Pada era 1950-an, Swedia memiliki tim terbaik. Mereka juga punya bakat-bakat terbaik. Salah satunya adalah Nils Liedholm.

Gelandang yang satu ini bermain elegan, tapi garang jika mendapat peluang. Bahkan, dia termasuk gelandang paling produktif di masanya. Tampil 477 kali bersama tiga klub berbeda, dia membukukan 127 gol. Rata-rata, dia pertandingan dia mencetak 0,28 gol. Termasuk produktif untuk ukuran gelandang.

Liedholm bersama Gunnar Gren dand Gunnar Nordahl merupakan trio maut baik buat timnas Swedia maupun di kub, terutama di AC Milan. Mereka sering disingkat menjadi Gre-No-Li. Trio yang selalu memamerkan kehebatan bermain bola dan membawa kejayaan.

Liedholm menjadi aktor utama kala membawa Swedia memenangkan medali emas cabang sepak bola di Olimpiade 1948. Kehebatannya kembali mencuat di Piala Dunia 1958. Dia membawa Swedia lolos ke partai final. Bertemu Brasil, Liedholm mencetak gol pembuka dan membuka peluang buat negaranya untuk juara. Namun, Brasil kala itu juga memiliki bocah ajaib. Dia adalah Pele. Pemain yang waktu itu berumur 17 tahun itu mencetak dua gol dan membawa Brasil tampil sebagai juara Piala Dunia dengan kemenangan 5-2.
Meski begitu, itu pencapaian terbesar Swedia di turnamen internasional. Sejak itu, mereka gagal mengulangnya lagi.

Bakat Liedholm bersinar sejak dia masih kecil. Saat umurnya baru 9 tahun, dia direkrut Valdemarsviks IF. Permainannya makin berkembang. Pada 1942, dia dibeli IK Sleipner dan pada 1946 pindah ke klub Swedia terbesar waktu itu, IFK Norrkoping.

Nils Liedholm di IFK Norrkoping

Namun, namanya baru mendunia setelah membawa Swedia meraih medali emas Olimpiade 1946. Permainannya menyita perhatian. Klub besar Italia, AC Milan, langsung merekrutnya bersama Gunnar Gren dand Gunnar Nordahl. Gre-No-Li pun pindah ke San Siro dan menghadirkan banyak gelar buat "I Rossoneri". Selain menghadirkan empat gelar Liga Serie-A, Liedholm juga membawa Milan meraih dua gelar Piala Latin.

Lidholm nyaris membawa Milan juara Piala Champions (sekarang Liga Champions) pada musim 1957-58. Sayang, di final Milan kalah 2-3 dari Real Madrid. Namun, bintang Madrid waktu itu, Alfredo Di Stefano mengatakan, dilihat dari permainan, seharusnya Milan yang tampil sebagai juara.

Nils Liedholm di AC Milan

Permainan Milan waktu itu memang menawan. Dan, otaknya adalah Liedholm. Maka, seusai pertandingan, Di Stefano meminta Liedholm bertukar kostum.

Kehebatannya membuat Liedholm dianggap pemain terbaik yang pernah dimiliki Swedia. Saat mengembuskan napas terakhirnya pada 5 November 2007, Swedia berkabung dan ucapan belasungkawa datang dari segala penjuru dunia.

Putra Gunnar Nordahl, Thomas Nordahl, mengatakan, "Paman Nils merupakan salah satu pemain dan pelatih terhebat di Swedia yang pernah ada."

Pengamat sepak bola dari radio Swedia, Ralf Edstrom yang juga pemain hebat Swedia pada era 1970-an, menyebut Liedhol sebagai duta Swedia yang membanggakan.

Setelah pensiun, Liedholm juga menjadi pelatih yang sukses. Dia membawa Verona dan Varese promosi ke Serie-A. Selain itu, dia juga beberapa kali menangani mantan klubnya, AC Milan. Pada 1963 dia menangani tim senior Milan. Dia pernah sukses membawa Milan juara Liga Serie-A muim 1978-79.

Suksesnya sebagai pelatih terjadi saat dia menangani AS Roma. Dia membawa klub itu juara Liga Serie-A musim 1982-83. Dia membawa Roma menjuarai Coppa Italia tiga kali, 1980-81, 1982-83, dan 1983-84. Bahkan, dia nyaris menghadirkan gelar Liga Champions buat Roma pada musim 1982-83, jika saja tak kalah adu penalti dari Liverpool di partai final.

Squads AS Roma 1982-83 dengan Nils Liedholm sebagai pelatihnya

Meski kebesarannya bergema setengah abad lalu, tapi Liedholm tetap menjadi inspirasi sepak bola Swedia. Dia dianggap gelandang garang yang tak hanya jago mengatur permainan, tapi juga garang di depan gawang lawan untuk mencetak gol demi gol.

Data Liedholm:
Nama lengkap: Nils Liedholm
Julukan: Il Barone
Tempat/Tanggal Lahir: Valdemarsvik, Swedia, 8 Oktober 1922
Meninggal dunia: 5 November 2007
Posisi saat bermain: Gelandang

Karier sebagai pemain: Valdemarsviks IF (1938–1943), IK Sleipner  (1943–1946), IFK Norrkoeping (1946–1949), AC Milan (1949–1961)

Karier pelatih: AC Milan (1963–1966), Verona (1966–1968), Monza (1968–1969), Varese (1969–1971), Fiorentina (1971–1973), AS Roma (1973–1977), AC Milan (1977–1979), AS Roma (1979–1984), AC Milan (1984–1987), AS Roma (1987–1989), Verona (1992), AS Roma (1997)

Gelar Sebagai Pemain
Bersama Timnas Swedia:
Meraih medali emas Olimpiade 1948

Bersama IFK Norrkoeping:
Juara Liga Swedia (2): 1946–47 and 1947–48

Bersama AC Milan:
Juara Liga Serie-A (4): 1951, 1955, 1957, 1959
Juara Piala Latin (2): 1951, 1956
Runner-up Liga Champions 1957-58

Gelar Sebagai Pelatih
Bersama AC Milan:
Juara Liga Serie-A (1): 1978-79

Bersama AS Roma:
Juara Liga Serie-A (1): 1982-83
Juara Coppa Italia (3): 1980-81, 1982-83, 1983-84

KEPELOPORAN PETAR RADENKOVIC

Rabu, 07 November 2012



Petar Radenkovic boleh dibilang sial. Dia mencuat seiring melesatnya kiper Uni Soviet, Lev Yashin, yang lantas disebut sebagai kiper terbaik dunia. Padahal, sebenarnya pria yang akrab dipanggil Radi ini tak kalah dibanding Yashin. Bahkan, dalam beberapa hal, dia melebihi kiper yang dijuluki Black Spider itu.

Radi adalah pelopor, terutama di sepak bola Jerman. Kiper asal Yugoslavia ini adalah satu dari hanya tiga pemain asing yang merumput pada pekan pertama saat Bundesliga digulirkan pada 1963. Sudah begitu, dia juga pelopor kiper yang tidak hanya berada di daerah gawangnya tapi juga merangsek hingga kotak penalti lawan.


Selain itu, dia juga pelopor selebriti lapangan hijau. Radi punya kerjaan sampingan sebagai model dan penyanyi. Kiprahnya di sana sama suksesnya dengan di lapangan hijau. Jika di lapangan hijau dia sempat meraih gelar juara Bundesliga, Piala Jerman, Piala Yugoslavia, dan medali perak olimpiade, di bidang tarik suara pun kiprahnya mengagumkan.

Buktinya, salah satu single-nya, Bin i Radi, Bin i Koenig yang dirilis April 1965 terjual sebanyak 400 ribu kopi dan sempat nangkring di posisi kelima chart Jerman pada tahun itu. Dalam lagu tersebut terdapat bait yang mengilustrasikan kelakuannya di lapangan yang berani sekaligus humoris.


Lagu itu juga menjadikannya perintis tradisi pebola-penyanyi yang lantas sangat popular di Jerman. Di antara yang mengikuti jejaknya adalah Gerd Mueller dan Franz Beckenbauer, dua bintang Die Nationalmannschaft

AMADEO CARRIZO PELOPOR KIPER BERSARUNG TANGAN

Senin, 05 November 2012



Satu ciri khas yang melekat pada seorang kiper dan membedakannya dari pemain lain adalah sarung tangan yang membungkus jemari dan telapak tangan. Namun, tahukah kamu, siapa penjaga gawang pertama yang memakainya? Dialah Amadeo Carrizo, salah satu kiper terbesar dan terbaik yang pernah dimiliki Argentina.

Carrizo memulai debut profesional bersama River Plate saat umurnya baru menginjak 19 tahun. Tak diketahui pasti apakah pada saat itu dia sudah mengenakan sarung tangan untuk memproteksi tangannya. Namun, satu hal yang jelas, Carrizo mulai memakainya antara dekade 1940-an dan 1950-an.

Sarung tangan yang dipakai Carrizo tentu belumlah seperti saat ini yang didesain dengan tingkat keamanan yang tinggi bagi pemakainya. Carrizo hanya memakai sarung tangan dari bahan kain biasa.


Ini sebuah terobosan baru karena di Eropa sendiri tren penggunaan sarung tangan oleh kiper baru marak pada 1970-an. Itu pun beberapa kiper justru merasa terbebani olehnya. Hingga 1980-an, masih banyak kiper yang tak suka memakai sarung tangan. Mereka hanya memakainya jika cuaca tidak bersahabat.

Sebelum teknologi sarung tangan diperkenalkan, para kiper tak berbeda jauh dengan para pemain di posisi lain. Pasalnya, saat berusaha menyelamatakan gawang dari gempuran lawan, mereka biasanya meluncur dengan kaki terlebih dahulu, tak ubahnya seorang bek saat melakukan tekel. Bahkan para kiper nomor wahid macam Frank Swift, Ted Ditchburn, dan Bert Trautmann pun melakukan hal serupa.

Selain sebagai pemakai sarung tangan pertama, Carrizo yang dijuluki Tarzan dan Si Mesin ini juga dikenal sebagai pelopor kiper yang tak ragu keluar dari wilayahnya. Menurut Eduardo Galeano, penulis buku Soccer in Sun and Shadow, Carrizo-lah kiper pertama yang tak ragu memulai serangan dan menggiring bola melewati pemain lawan. Sebelum Carrizo, tindakan gila seperti itu tak pernah terpikir sebelumnya. 

SILVIO PIOLA, NAMANYA DIABADIKAN DI DUA STADION

Kamis, 01 November 2012



Silvio Piola merupakan salah satu legenda Italia. Dilahirkan pada 29 September 1913, pemain yang berposisi striker itu melanglang buana dengan memperkuat lima klub berbeda di Italia.
Awal kariernya dimulai di Pro Vercelli. Dia memperkuat klub tersebut antara 1929 dan 1934. Setelah itu, dia hijrah ke Lazio.
Bersama Lazio, dia merasakan prestasi menjadi runner-up pada musim 1936-37. Dia juga berjasa membawa Italia menjadi juara Piala Dunia 1938 berkat dua golnya pada laga puncak. Pada musim terakhir di Lazio, 1942-43, dia menjadi top skorer Serie-A dengan torehan 21 gol dari 22 laga.

Sempat satu musim membela Torino, Piola lalu membela Juventus pada 1945 hingga 1947. Dalam dua musim, dia harus puas hanya berada di posisi kedua di bawah Torino.
Menginjak usia 34 tahun, dia memilih bergabung dengan klub Serie-B, Novara. Klub tersebut dibawanya meraih tiket promosi pada musim pertamanya, hingga akhirnya pensiun pada 1953-54.
Sepanjang kariernya, Piola tampil 537 pada laga Serie-A, terbanyak keempat setelah Paolo Maldini, Gianluca Pagliuca, Javier Zanetti, Dino Zoff, Pietro Vierchowod, dan Roberto Mancini.
Dengan torehan 274 gol, Piola menjadi top skorer sepanjang masa Serie-A hingga kini. Jauh meninggalkan Gunnar Nordahl di posisi kedua dengan 225 gol.

Pada 4 Oktober 1996, Piola berpulang. Usai kematiannya, nama Piola diabadikan di dua stadion sekaligus. Pada 1997, kandang Novara berganti nama menjadi Stadio Silvio Piola. Setahun berselang, nama yang sama dipakai di Vercelli.

GIANLUCA SIGNORINI, KAPTEN TERBESAR GENOA

Sabtu, 13 Oktober 2012



Genoa memasuki masa keemasan pada era akhir 1800-an hingga era awal 1900-an. Tapi, jika ditanya tentang siapa kapten terbesar sepanjang masa I Grifoni, jawabannya adalah pemain yang bermain pada era akhir 1980-an hingga masa 1990-an, Gianluca Signorini.

Jawaban serupa tidak hanya akan meluncur dari mulut orang-orang yang dekat dengan Signorini pada masa itu. Tanya saja kepada kapten Genoa pada musim 2010-11, Marco Rossi. “Siapa kapten terbesar sepanjang masa Genoa? Gianluca Signorini. Dia akan selalu menjadi kapten terhebat,” ujar Rossi.

Signorini bergabung dengan Genoa pada awal musim 1988-89. Sebelumnya, dia lebih dulu melejit di Parma yang dilatih Arrigo Sacchi serta AS Roma yang diasuh Nils Liedholm.

Di bawah bimbingan dua pelatih cerdas itu, Signorini berkembang menjadi defender andal. Posisi libero diakrabinya, hingga dia berkembang menjadi salah satu bek terbaik di Italia.

Kiprahnya kemudian menarik minat Francesco Scoglio yang melatih Genoa. Karena dekat dengan Liedholm, Scoglio secara pribadi meminta agar Signorini dilepas ke Genoa.

Untung saja permintaan itu diluluskan. Signorini bergabung dengan I Grifoni yang menjadi klub yang makin membesarkan namanya. Bayangkan saja, Signorini selalu menjadi kapten selama tujuh musim di Genoa. Dia pun menjadi idola tifosi. Terbukti, ada kelompok suporter Genoa yang mengambil nama dari namanya yakni Genoa Club Signorini.

Rasanya cukup wajar melihat hal tersebut. Di Genoa, Signorini mantap menjadi kapten sekaligus defender andalan. Dia termasuk ke dalam Dream Team Genoa yang menembus semifinal Piala UEFA 1991-92. Tidak hanya itu, Signorini juga memimpin I Grifoni mencetak sejarah sebagai klub Italia pertama yang mengalahkan Liverpool di Stadion Anfield (18/03/92).

Signorini baru meninggalkan Genoa pada 1995 untuk bergabung dengan Pisa yang merupakan klub kota kelahirannya. Saat itu, umurnya sudah mencapai 35 tahun. Di Genoa, Signorini mencatat rekor tampil 207 kali dan mencetak lima gol.

Dikalahkan Penyakit
Signorini hanya bermain selama dua musim di Pisa. Sesudahnya dia pensiun dan mencoba merintis karier sebagai pelatih. Signorini sempat menjadi pelatih caretaker Pisa yang bermain di Serie-C2 pada musim 1997-98.

Tak lama kemudian petaka menghampirinya. Dia didiagnosis menderita amyotrophic lateral sclerosis. Penyakit ini mengganggu otak manusia yang menghambat koordinasi gerak tubuh. Akibat yang paling fatal adalah kelumpuhan seperti dialami Signorini.

Gangguan ini rupanya sering menimpa pebola. Ditengarai, ada beberapa hal yang menjadi penyebabnya. Salah satunya konsumsi obat penghilang rasa sakit yang berlebihan atau benturan di kepala saat melakukan sundulan yang terlalu sering.


Signorini akhirnya meninggal akibat penyakit ini pada 6 November 2002 di Pisa (Italia). Dia menghembuskan napas terakhir pada umur 42 tahun. Sesudahnya Genoa tergerak. Nomor kostum enam yang biasa dikenakannya dipensiunkan.

Akan tetapi, semangat Signorini masih akan terasa di Luigi Ferraris. Selain karena namanya telah terpatri di benak tifosi, keturunan Signorini kembali ada di Genoa. Dia adalah Andrea yang melakukan debut Serie-A bersama I Grifoni pada 17 Mei 2009. (Asis/Soccer)

Fakta Signorini:
Nama lengkap: Gianluca Signorini Lahir: Pisa (Italia), 17 Maret 1960 Posisi: Defender Nomor kostum: 6 (Genoa) Karier klub: Pisa (1978-1979), (1995-1997), Pietrasanta (1979–1980), Prato (1980-1981), Livorno (1981-1983), Ternana (1983-1984), Cavese (1984-1985), Parma (1985-1987), Roma (1987-1988), Genoa (1988-1995) Karier timnas: - Prestasi: -

GUY ROUX, MONUMEN HIDUP AUXERRE



Durasi 44 tahun bukan waktu yang sebentar. Terlebih bagi seseorang yang menduduki posisi pelatih di level sepak bola profesional. Karena itu, jika ada seorang pelatih yang bisa bertahan selama itu di satu klub tertentu, pasti dia sangat istimewa. Dalam sepak bola modern, ada satu orang yang sanggup melakukannya. Dialah Guy Roux.

Namun, jika dihitung sepanjang sejarah sepak bola, Roux bukan yang terlama. Dia adalah Fred Everiss yang menangani West Bromwich selama 46 tahun dari 1902 sampai 1948.

Pria ini menyodorkan surat lamaran sebagai pelatih pada 1961 saat berusia 22 tahun. Namun, mayoritas masyarakat dunia tidak peduli. Pasalnya, berita pengangkatan John F. Kennedy sebagai Presiden Amerika Serikat, pendaratan manusia pertama di bulan, dan pembangunan tembok Berlin, tengah menjadi isu besar. Apalagi Auxerre hanyalah klub liliput dari sebuah kota kecil yang hanya berkompetisi di liga amatir wilayah Burgundy (Prancis).

Akan tetapi, siapa sangka Roux mampu mengangkat pamor klub liliput menjadi sebuah raksasa? Langkah itu diawali pada musim 1979-80. Itulah kali pertama Auxerre meraih trofi dengan menjuarai Ligue 2. Berkat prestasi tersebut klub ini berhak memainkan debut di Ligue 1 pada 1980-81.

Setelah itu, klub berkostum putih-biru ini menjadi menjelma sebagai kekuatan yang disegani di sepak bola Prancis. Gelar di ajang bergengsi Piala Prancis berhasil dibukukan pada 1994, 1996, 2003, dan 2005. Puncaknya terjadi pada 1996 ketika Auxerre menjuarai Ligue 1. Itulah gelar Ligue 1 satu-satunya bagi klub yang bermarkas di Abbe-Deschamps. Hebatnya, prestasi ini diraih dengan kondisi finansial dan materi pemain yang pas-pasan.

Salah satu kunci keberhasilan Roux tak lain disiplin yang tinggi. Semasa menjadi pelatih, dia menganggap hal itu sebagai kunci kesuksesan. Disiplin tak hanya dia berlakukan bagi pemainnya saja. Tapi juga dirinya sendiri. Alhasil, semua anak buah Roux menaruh hormat kepadanya.

“Untuk menjadi seorang manajer, kami perlu melakukan dua hal: menjadi contoh dan mencintai. Jika pemainmu hadir di lapangan jam 9 pagi, kami harus tiba pukul 8.30 dalam keadaan tidak mabuk. Kamu juga harus mencintai mereka. Jika tidak, mereka akan merasakannya,” kata Roux.

Pencipta Pemain Berbakat
Untuk membangun Auxerre, Roux harus bekerja ekstrakeras. Sebab, klub ini bukan klub besar. Untuk mendapatkan pemain yang hebat, dia tidak bisa membelanjakan uang, tapi harus menciptakannya.

Disinilah kehebatan Roux terlihat. Di tangannya, lahir pemain-pemain muda berbakat seperti Basile Boli, Eric Cantona, Djibril Cisse, dan Philippe Mexes. Ada juga beberapa bintang yang bersinar meski dibeli dengan harga murah semisal Enzo Scifo, Laurent Blanc, hingga Jean-Alain Boumsong.

Djibril Cisse

Roux memang tak bisa meminta uang banyak untuk membeli pemain kepada manajemen. Sebab, ketika pertama kali mengikat kontrak, dia telah mengikat janji kepada Presiden Auxerre saat itu, Jean-Claude Hamel. “Saya akan selalu membuat neraca klub ini seimbang dan tak pernah menghamburkan uang,” kata Roux.

Sumbangsih besar yang diberikan Roux membuat pemain dan pendukung Auxerre menganggapnya bak dewa. Faktanya, tanpa Roux, Auxerre belum tentu bisa sebesar ini. “Roux telah membuat Auxerre sebesar sekarang lewat tangannya sendiri. Dia hidup dan bernapas di klub ini. Dia merupakan sebuah karakter sekaligus monumen dalam sepak bola Prancis,” ujar eks anak asuh Roux, Basile Boli.

Kesedihan langsung terasa begitu Roux memutuskan untuk mundur pada 2005, tepat setelah mempersembahkan gelar Piala Prancis. “Kami layak merayakan keberhasilan meraih trofi ini, tapi kami juga harus melakukan acara perpisahan untuk pelatih kami,” bilang kapten Auxerre saat itu, Yann Lachuer.

Meski telah pergi dari Auxerre, tak akan ada yang bisa mengalahkan pengabdian Roux. Namanya akan terus terpatri sebagai monument terbesar yang dimiliki Auxerre.

Fakta Roux :
Nama lengkap: Guy Roux Lahir: Colmar (Prancis), 18 Oktober 1938 Karier pemain: AJ Auxerre (1952-1961) Karier pelatih: AJ Auxerre (1961-2005), RC Lens (2007) Prestasi: Juara Ligue 1 (1995-96), Juara Piala Prancis (1993-94, 1995-96, 2002-03. 2004-05)

sumber

TAN MALAKA, BAPAK BANGSA PECINTA SEPAK BOLA



Sosok laki-laki berwajah tegas dengan sorot mata tajam itu melangkah gagah memasuki lapangan sepak bola Bayah, Banten. Tanpa alas kaki, pria bertubuh kecil itu mulai beraksi. Di tengah temaram senja kota Banten, ia seakan menari ketika memainkan bola dengan lincah dan telaten. Puluhan penonton pun terpesona, melihat kehebatan pemuda itu yang mempunyai nama lengkap Ibrahim Datuk Tan Malaka.

Tan Malaka memang merupakan salah satu dari pejuang bangsa yang mencintai sepak bola. Namanya pantas disandingkan dengan tokoh-tokoh besar lain, seperti Bung Hatta, Sutan Sjahrir, Soekarno, hingga MH Thamrin yang ingin menunjukkan bahwa bangsanya juga manusia. Melalui sepak bola, mereka ingin menegaskan kemanusiaan bangsa Indonesia itu. Bagi mereka, olahraga itu adalah simbolisasi tekad mengangkat harkat martabat bangsa, bukan ajang pertarungan gengsi dari sejumlah pengurusnya yang hanya memikirkan kepentingan pribadi dan materi seperti menggejala saat ini.

Lahir di Nagari Padam Gadang, Suliki, Sumatera Barat, pada 2 Juni 1897, sejak kecil Tan Malaka akrab dengan sepak bola. Ayahnya, Rasad Chaniago, adalah pegawai rendahan. Sedangkan ibunya, Sinah Simabur, seorang ibu rumah tangga. Dalam keluarga, Tan adalah sulung dari dua bersaudara. Sang adik, Kamaruddin, usianya enam tahun lebih muda.

Di usia muda, Tan Malaka adalah potret bocah laki-laki Minangkabau. Selain sepak bola, seperti layaknya anak Sumatera Barat lainnya, Tan juga gemar berenang di sungai hingga bermain layang-layang. Sifatnya keras dan pemberani, namun juga cerdas. Ini membuatnya berbeda dari anak lainnya. Tan selalu berusaha bisa lebih baik dari teman-teman sebaya walaupun hanya dalam sebuah permainan sepak bola.

Pada akhirnya, sifat itulah yang membuat Tan Malaka menorehkan tinta emas dalam sejarah panjang perjuangan bangsa Indonesia. Karena kecerdasannya itu pula, ia kemudian direkomendasikan sejumlah guru untuk melanjutkan pendidikan di Sekolah Guru Negeri, Fort de Kock, yang muridnya khusus hanya dari kalangan ningrat dan pegawai tinggi.

Terkenal di Belanda
Di saat usianya menginjak 16 tahun, Tan Malaka kemudian melanjutkan pendidikannya ke Rijks Kweekschool di Harleem, Belanda pada 1913. Di kota itulah, Tan terkenal dalam urusan sepak bola. Meski tingginya hanya 165 cm, ia beberapa kali membuat rekan-rekannya kagum karena ketangkasannya menggiring si kulit bulat.

Selama dua tahun (1914-1916) tinggal di Harleem, Tan Malaka sempat bergabung bersama klub profesional Vlugheid Wint. Dalam klub itu, Tan dikenal sebagai penyerang andal yang memiliki kecepatan luar biasa. Bermain di garis depan, beberapa penjaga gawang pernah merasakan tendangan kerasnya meski bermain tanpa alas kaki.

Cuaca dingin di Belanda tak menyurutkan kecintaannya terhadap sepak bola. Beberapa kali Tan Malaka sering mengabaikan peringatan rekan-rekannya agar mengenakan jaket tebal pada saat istirahat pertandingan. Kakinya pun sering terluka lantaran tak bersepatu. Namun, dalam kondisi sakit seperti itu, nafsu bermain Tan tak padam.

Mencintai sepak bola tak membuat Tan Malaka lupa tugas utama, yakni memperjuangkan nasib Nusantara dari kolonial Belanda. Dalam perjalanannya, sejumlah perkembangan politik dunia dan perang yang berkecamuk telah memengaruhi pemikiran Tan. Tak jarang, pemikiran itu ia dapat saat berdiskusi di sebuah pondokan di Jacobijnesraat dengan pengungsi Belgia yang lari dari serbuan Nazi Jerman. Sepak bola pun beberapa kali dijadikan bahan obrolan saat meminum kopi.

Akhir 1916, Tan meninggalkan Harleem dan melanjutkan perantauannya di beberapa negara. Meskipun sempat gagal mendapatkan izin mengajar, karena tak lulus ujian guru di Belanda, Tan mendapat pelajaran penting tentang politik dan kerakyatan. Tiga tahun melalangbuana di Belanda, Tan kemudian memutuskan untuk kembali ke Nusantara pada 1919. Ia pulang dengan satu cita-cita, yaitu mengubah nasib bangsa Indonesia, termasuk dalam urusan sepak bola.

Bangga dengan PSSI
Tan Malaka kemudian bekerja sebagai guru di sebuah perkebunan di Deli bernama Senembah pada pertengahan 1919. Di daerah yang masih satu pulau dengan tanah lahirnya itu, Tan terenyuh karena masih banyak penduduk pribumi tidak hidup laik. Hal itu angat kontras dengan kakayaan dan tanah Deli yang penuh akan sumber daya alam melimpah. Kekayaan itu akhirnya habis karena dihisap dan dikuras oleh pemerintah kolonial.

Pemandangan serupa pun terjadi dalam sepak bola Nusantara. Pada awal 1920-an, stigma kultural superioritas kolonial Belanda merasuk ke dalam olahraga yang paling populer di Hindia Belanda itu. Tak jarang ditemui palang peringatan bertuliskan Verboden voor Inlanders en Houden atau "Dilarang Masuk untuk Pribumi dan Anjing" di halaman depan sejumlah lapangan sepak bola. Tak sedikit pula orang pribumi harus gigit jari hanya untuk sekadar menyalurkan hobi sepak bola.

Beberapa klub seperti Setiaki, Ster, dan Den Bruinen di Batavia adalah saksi atas politik klasifikasi kelas yang merambah ke urusan sepak bola. Sejumlah klub itu sering berinteraksi dengan sejumlah tokoh pergerakan seperti Bung Hatta, Soekarno, Sjahrir, MH Thamrin, dan juga Tan Malaka. Semangat Sumpah Pemuda kemudian dijadikan alat untuk mendorong pemuda bergabung melawan kebusukan NIVB (Nedherlands Indish Voetbal Bond) milik Belanda.

Pada masa itu, Tan Malaka memang tidak berada di dalam negeri. Ia diusir dari Indonesia dan dibuang ke Amsterdam, lantaran aktif dalam gerakan komunis dan Islam untuk menghadapi imperialisme Belanda pada Mei 1922. Kurang lebih selama 20 tahun, Tan mengembara di negeri seberang. Beberapa negara ia singgahi, sejumlah nama samaran pun ia pakai untuk mengelabui para intel polisi.

Meski berada di negeri orang, Tan tidak pernah melupakan leluhur karena kecintaannya terhadap sepak bola tak luntur. Di negeri seberang, ia pun mengikuti perkembangan kabar kesuksesan pemuda Nusantara mengangkangi pemerintah kolonial Belanda dalam hal sepak bola. Ketika itu, Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia (sekarang PSSI) di bawah pimpinan Ir Soeratin Sosrosoegondo mampu membuktikan sepak bola Nusantara dapat unjuk gigi tidak hanya kepada Belanda, tetapi kepada dunia.

Pada era 1930-an, Nusantara berhasil menduduki posisi elit sepak bola Asia bersama Israel (ketika itu masih masuk zona Asia), Burma (Myanmar), dan Iran. Dengan memakai nama Hindia Belanda, Nusantara menjadi tim sepak bola Asia pertama yang tampil dalam Piala Dunia 1938. Melihat kesuksesan itu Tan jelas bangga karena sepak bola mampu bertransformasi bukan hanya sekadar produk kebudayaan, tetapi juga produk politik, yang di dalamnya erat persoalan identitas dan spirit kebangsaan Indonesia.

Bahkan, ketika kembali ke tanah air dan menetap di Bayah, Banten pada 1943, Tan Malaka masih tetap mencintai sepak bola. Ketika itu, Tan memakai nama samaran, Ilyas Hussein. Di daerah yang ditakuti, termasuk oleh tentara Jepang, karena mewabahnya penyakit kudis, disentri, dan malaria, pribumi hidup sengsara dengan menjadi Romusha. Ketakutan itu tidak menghinggapi Tan. Ia tetap berjuang, agar pribumi tidak berkecil hati.

Arif Zulkifli dalam bukunya  berjudul  Tan Malaka: Bapak Republik yang Dilupakan, menyebut Tan Malaka sering membantu rakyat kecil di daerah itu lewat sepak bola. Di tengah penindasan Jepang, Tan menjadi penggagas pembangunan lapangan sepak bola di Bayah. Tak jarang pula, ia turun langsung ke lapangan dan bermain sebagai pemain sayap maupun hanya sekadar menjadi wasit di kejuaraan Rangkasbitung. Selesai bermain, Tan yang dikenal selalu memakai celana pendek, helm tropis, dan tongkat itu biasanya mentraktir para pemain tim sepak bola yang berlaga dalam kejuaraan tersebut.

Jalan hidup sepak bola
Melihat sepenggal fakta sejarah ini, Tan Malaka memang tak berjuang secara langsung membela Nusantara di kancah sepak bola. Namun, ia mengerti menjadi pecinta sepak bola yang paham bahwa olahraga itu merupakan jati diri bangsa. Tak jarang pula dalam beberapa pemikirannya, Tan menghubungkan hal-hal kecil dalam olahraga tersebut yang dapat diterapkan di berbagai bidang kehidupan sosial masyarakat.

Dalam salah satu karyanya, Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika), Tan menganalogikan bahwa salah satu cara agar tidak terjadi kekacauan, ibarat menentukan pemain dalam sebuah pertandingan sepak bola. Ia menuliskan, "Apabila kita menonton satu pertandingan sepak bola, maka lebih dahulu sekali kita pisahkan si pemain, mana yang masuk klub ini, mana pula yang masuk kumpulan itu. Kalau tidak, bingunglah kita. Kita tidak bisa tahu siapa yang kalah, siapa yang menang.  Mana yang baik permainannya, mana yang tidak."

Ucapannya itu pun rasanya pantas kita sematkan kepada sejumlah pengurus sepak bola Indonesia yang berseteru dewasa ini. Terlalu banyak intrik politik, klaim saling benar, yang membuat prestasi sepak bola tenggelam dalam sejarah kelam. Padahal, jika para pengurus itu bisa memisahkan diri bahwa tugasnya adalah pamong olahraga sejati, kekisruhan tiada henti seperti sekarang ini tidak pernah akan terjadi.

Jika saja sejumlah pengurus itu bisa mengilhami perjuangan Tan Malaka, niscaya bukan tidak mungkin sepak bola menuju ke arah yang baik. Tan Malaka memang pejuang kontroversial karena gagasan komunisnya. Namun, setidaknya pemikirannya mampu membuat tokoh besar seperti Soekarno dan Bung Hatta mengakui bahwa dia juga bapak Republik yang ingin membuat rakyatnya sejahtera. Keinginan itulah yang harus ditiru oleh sejumlah pengurus sepak bola Indonesia!

Tak ada jiwa revolusioner demi rakyat seperti seorang Tan Malaka dalam diri sejumlah pengurus yang bertikai. PSSI, organisasi besar yang didirikan demi persatuan itu seperti lebih menyukai perseteruan penuh intrik yang juga menjadi ajang permusuhan. Apalagi, untuk kali pertama dalam sejarah, PSSI pecah dengan kemunculan Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI)cdan ada dualisme kompetisi yang saling "bermusuhan". Rakyat pun jadi korban, karena prestasi emas olahraga yang dicintainya tak kunjung tiba.

Di tengah kekacauan itu, sosok Tan Malaka hingga saat ini memang terus menjadi kontroversi. Jasadnya pun masih merupakan misteri. Namun yang pasti, warisan kecintaan, perjuangan, dan pemikirannya tentang sepak bola itu pantas dipuji. Warisan itu akan tetap kekal di dalam tanah Nusantara yang kaya akan sejarah emas sepak bola. Permainan indah yang sekarang ini lebih banyak disuguhi pemeran basi sejumlah pengurus olahraga mirip politisi yang hati nuraninya telah mati.

KLAUS AUGENTHALER, DEFENDER TERSUBUR BAYERN MUENCHEN

Selasa, 25 September 2012



Banyak orang menganggap Franz Beckenbauer adalah defender paling jago dalam segala hal di Bayern Muenchen. Kenyataannya tidaklah demikian. Setidaknya dalam urusan mencetak gol, Der Kaiser harus kalah dari Klaus Augenthaler.

Sebagai seorang defender kelahiran Fuerstenzell, 26 September 1957 itu memang tidak istimewa. Pasalnya dia memiliki naluri mencetak gol lumayan tinggi. Lihat saja catatan rekor golnya selama membela Bayern. Dalam 404 penampilan di Bundesliga 1, Auge-panggilan akrab Augenthaler – menciptakan 52 gol.

Bandingkan dengan Beckenbauer yang mencetak 44 gol dari 396 penampilan. Di kancah antarklub Eropa pun catatan Auge lebih mentereng yaitu 14 gol dari 89 pertandingan. Bahkan angka 89 itu menjadikan dirinya sebagai pemain Bayern yang paling banyak tampil di Eropa.

Uniknya, Auge sempat mencetak hat-trick saat Bayern menghadapi Anorthosis Famagusta (Siprus) di second leg babak pertama Piala UEFA 1983-84 . pada pertandingan di Stadion Olimpiade Muenchen, 28 September 1983 itu, Bayern membantai Anorthosis sepuluh gol tanpa balas.

Lima Besar Defender Tersubur Bayern
    1.      Klaus Augenthaler                  (12/10/77-15/06/91) 404 main/52 gol
    2.      Franz Beckenbauer                 (14/08/65-21/05/77) 396 main/44 gol
    3.      Christian Ziege                        (02/03/91-31/05/97) 185 main/38 gol
    4.      Thomas Helmer                       (15/08/92-22/05/99) 191 main/24 gol
    5.      Hans-Georg Schwarzenbeck   (08/10/66-18/08/79) 416 main/21 gol
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Pencarian

Translate