Sosok
laki-laki berwajah tegas dengan sorot mata tajam itu melangkah gagah memasuki
lapangan sepak bola Bayah, Banten. Tanpa alas kaki, pria bertubuh kecil itu
mulai beraksi. Di tengah temaram senja kota Banten, ia seakan menari ketika
memainkan bola dengan lincah dan telaten. Puluhan penonton pun terpesona,
melihat kehebatan pemuda itu yang mempunyai nama lengkap Ibrahim Datuk Tan
Malaka.
Tan Malaka
memang merupakan salah satu dari pejuang bangsa yang mencintai sepak bola.
Namanya pantas disandingkan dengan tokoh-tokoh besar lain, seperti Bung Hatta,
Sutan Sjahrir, Soekarno, hingga MH Thamrin yang ingin menunjukkan bahwa
bangsanya juga manusia. Melalui sepak bola, mereka ingin menegaskan kemanusiaan
bangsa Indonesia itu. Bagi mereka, olahraga itu adalah simbolisasi tekad
mengangkat harkat martabat bangsa, bukan ajang pertarungan gengsi dari sejumlah
pengurusnya yang hanya memikirkan kepentingan pribadi dan materi seperti
menggejala saat ini.
Lahir di
Nagari Padam Gadang, Suliki, Sumatera Barat, pada 2 Juni 1897, sejak kecil Tan
Malaka akrab dengan sepak bola. Ayahnya, Rasad Chaniago, adalah pegawai
rendahan. Sedangkan ibunya, Sinah Simabur, seorang ibu rumah tangga. Dalam
keluarga, Tan adalah sulung dari dua bersaudara. Sang adik, Kamaruddin, usianya
enam tahun lebih muda.
Di usia muda,
Tan Malaka adalah potret bocah laki-laki Minangkabau. Selain sepak bola,
seperti layaknya anak Sumatera Barat lainnya, Tan juga gemar berenang di sungai
hingga bermain layang-layang. Sifatnya keras dan pemberani, namun juga cerdas.
Ini membuatnya berbeda dari anak lainnya. Tan selalu berusaha bisa lebih baik
dari teman-teman sebaya walaupun hanya dalam sebuah permainan sepak bola.
Pada akhirnya,
sifat itulah yang membuat Tan Malaka menorehkan tinta emas dalam sejarah
panjang perjuangan bangsa Indonesia. Karena kecerdasannya itu pula, ia kemudian
direkomendasikan sejumlah guru untuk melanjutkan pendidikan di Sekolah Guru
Negeri, Fort de Kock, yang muridnya khusus hanya dari kalangan ningrat dan
pegawai tinggi.
Terkenal di
Belanda
Di saat usianya menginjak 16 tahun, Tan Malaka
kemudian melanjutkan pendidikannya ke Rijks Kweekschool di Harleem, Belanda
pada 1913. Di kota itulah, Tan terkenal dalam urusan sepak bola. Meski
tingginya hanya 165 cm, ia beberapa kali membuat rekan-rekannya kagum karena
ketangkasannya menggiring si kulit bulat.
Selama dua
tahun (1914-1916) tinggal di Harleem, Tan Malaka sempat bergabung bersama klub
profesional Vlugheid Wint. Dalam klub itu, Tan dikenal sebagai penyerang andal
yang memiliki kecepatan luar biasa. Bermain di garis depan, beberapa penjaga
gawang pernah merasakan tendangan kerasnya meski bermain tanpa alas kaki.
Cuaca dingin
di Belanda tak menyurutkan kecintaannya terhadap sepak bola. Beberapa kali Tan
Malaka sering mengabaikan peringatan rekan-rekannya agar mengenakan jaket tebal
pada saat istirahat pertandingan. Kakinya pun sering terluka lantaran tak
bersepatu. Namun, dalam kondisi sakit seperti itu, nafsu bermain Tan tak padam.
Mencintai
sepak bola tak membuat Tan Malaka lupa tugas utama, yakni memperjuangkan nasib
Nusantara dari kolonial Belanda. Dalam perjalanannya, sejumlah perkembangan
politik dunia dan perang yang berkecamuk telah memengaruhi pemikiran Tan. Tak
jarang, pemikiran itu ia dapat saat berdiskusi di sebuah pondokan di
Jacobijnesraat dengan pengungsi Belgia yang lari dari serbuan Nazi Jerman.
Sepak bola pun beberapa kali dijadikan bahan obrolan saat meminum kopi.
Akhir 1916,
Tan meninggalkan Harleem dan melanjutkan perantauannya di beberapa negara.
Meskipun sempat gagal mendapatkan izin mengajar, karena tak lulus ujian guru di
Belanda, Tan mendapat pelajaran penting tentang politik dan kerakyatan. Tiga
tahun melalangbuana di Belanda, Tan kemudian memutuskan untuk kembali ke
Nusantara pada 1919. Ia pulang dengan satu cita-cita, yaitu mengubah nasib
bangsa Indonesia, termasuk dalam urusan sepak bola.
Bangga dengan
PSSI
Tan Malaka kemudian bekerja sebagai guru di
sebuah perkebunan di Deli bernama Senembah pada pertengahan 1919. Di daerah
yang masih satu pulau dengan tanah lahirnya itu, Tan terenyuh karena masih
banyak penduduk pribumi tidak hidup laik. Hal itu angat kontras dengan kakayaan
dan tanah Deli yang penuh akan sumber daya alam melimpah. Kekayaan itu akhirnya
habis karena dihisap dan dikuras oleh pemerintah kolonial.
Pemandangan
serupa pun terjadi dalam sepak bola Nusantara. Pada awal 1920-an, stigma
kultural superioritas kolonial Belanda merasuk ke dalam olahraga yang paling
populer di Hindia Belanda itu. Tak jarang ditemui palang peringatan bertuliskan
Verboden voor Inlanders en Houden atau "Dilarang Masuk untuk Pribumi dan
Anjing" di halaman depan sejumlah lapangan sepak bola. Tak sedikit pula
orang pribumi harus gigit jari hanya untuk sekadar menyalurkan hobi sepak bola.
Beberapa klub
seperti Setiaki, Ster, dan Den Bruinen di Batavia adalah saksi atas politik
klasifikasi kelas yang merambah ke urusan sepak bola. Sejumlah klub itu sering
berinteraksi dengan sejumlah tokoh pergerakan seperti Bung Hatta, Soekarno,
Sjahrir, MH Thamrin, dan juga Tan Malaka. Semangat Sumpah Pemuda kemudian
dijadikan alat untuk mendorong pemuda bergabung melawan kebusukan NIVB
(Nedherlands Indish Voetbal Bond) milik Belanda.
Pada masa itu,
Tan Malaka memang tidak berada di dalam negeri. Ia diusir dari Indonesia dan
dibuang ke Amsterdam, lantaran aktif dalam gerakan komunis dan Islam untuk
menghadapi imperialisme Belanda pada Mei 1922. Kurang lebih selama 20 tahun,
Tan mengembara di negeri seberang. Beberapa negara ia singgahi, sejumlah nama
samaran pun ia pakai untuk mengelabui para intel polisi.
Meski berada
di negeri orang, Tan tidak pernah melupakan leluhur karena kecintaannya
terhadap sepak bola tak luntur. Di negeri seberang, ia pun mengikuti
perkembangan kabar kesuksesan pemuda Nusantara mengangkangi pemerintah kolonial
Belanda dalam hal sepak bola. Ketika itu, Persatoean Sepakraga Seloeroeh
Indonesia (sekarang PSSI) di bawah pimpinan Ir Soeratin Sosrosoegondo mampu
membuktikan sepak bola Nusantara dapat unjuk gigi tidak hanya kepada Belanda,
tetapi kepada dunia.
Pada era
1930-an, Nusantara berhasil menduduki posisi elit sepak bola Asia bersama
Israel (ketika itu masih masuk zona Asia), Burma (Myanmar), dan Iran. Dengan
memakai nama Hindia Belanda, Nusantara menjadi tim sepak bola Asia pertama yang
tampil dalam Piala Dunia 1938. Melihat kesuksesan itu Tan jelas bangga karena
sepak bola mampu bertransformasi bukan hanya sekadar produk kebudayaan, tetapi
juga produk politik, yang di dalamnya erat persoalan identitas dan spirit
kebangsaan Indonesia.
Bahkan, ketika
kembali ke tanah air dan menetap di Bayah, Banten pada 1943, Tan Malaka masih
tetap mencintai sepak bola. Ketika itu, Tan memakai nama samaran, Ilyas
Hussein. Di daerah yang ditakuti, termasuk oleh tentara Jepang, karena
mewabahnya penyakit kudis, disentri, dan malaria, pribumi hidup sengsara dengan
menjadi Romusha. Ketakutan itu tidak menghinggapi Tan. Ia tetap berjuang, agar
pribumi tidak berkecil hati.
Arif Zulkifli
dalam bukunya berjudul Tan Malaka: Bapak Republik yang Dilupakan,
menyebut Tan Malaka sering membantu rakyat kecil di daerah itu lewat sepak
bola. Di tengah penindasan Jepang, Tan menjadi penggagas pembangunan lapangan
sepak bola di Bayah. Tak jarang pula, ia turun langsung ke lapangan dan bermain
sebagai pemain sayap maupun hanya sekadar menjadi wasit di kejuaraan
Rangkasbitung. Selesai bermain, Tan yang dikenal selalu memakai celana pendek,
helm tropis, dan tongkat itu biasanya mentraktir para pemain tim sepak bola
yang berlaga dalam kejuaraan tersebut.
Jalan hidup
sepak bola
Melihat sepenggal fakta sejarah ini, Tan
Malaka memang tak berjuang secara langsung membela Nusantara di kancah sepak
bola. Namun, ia mengerti menjadi pecinta sepak bola yang paham bahwa olahraga
itu merupakan jati diri bangsa. Tak jarang pula dalam beberapa pemikirannya,
Tan menghubungkan hal-hal kecil dalam olahraga tersebut yang dapat diterapkan
di berbagai bidang kehidupan sosial masyarakat.
Dalam salah
satu karyanya, Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika), Tan
menganalogikan bahwa salah satu cara agar tidak terjadi kekacauan, ibarat
menentukan pemain dalam sebuah pertandingan sepak bola. Ia menuliskan,
"Apabila kita menonton satu pertandingan sepak bola, maka lebih dahulu
sekali kita pisahkan si pemain, mana yang masuk klub ini, mana pula yang masuk
kumpulan itu. Kalau tidak, bingunglah kita. Kita tidak bisa tahu siapa yang
kalah, siapa yang menang. Mana yang baik
permainannya, mana yang tidak."
Ucapannya itu
pun rasanya pantas kita sematkan kepada sejumlah pengurus sepak bola Indonesia
yang berseteru dewasa ini. Terlalu banyak intrik politik, klaim saling benar,
yang membuat prestasi sepak bola tenggelam dalam sejarah kelam. Padahal, jika
para pengurus itu bisa memisahkan diri bahwa tugasnya adalah pamong olahraga
sejati, kekisruhan tiada henti seperti sekarang ini tidak pernah akan terjadi.
Jika saja
sejumlah pengurus itu bisa mengilhami perjuangan Tan Malaka, niscaya bukan
tidak mungkin sepak bola menuju ke arah yang baik. Tan Malaka memang pejuang
kontroversial karena gagasan komunisnya. Namun, setidaknya pemikirannya mampu
membuat tokoh besar seperti Soekarno dan Bung Hatta mengakui bahwa dia juga
bapak Republik yang ingin membuat rakyatnya sejahtera. Keinginan itulah yang
harus ditiru oleh sejumlah pengurus sepak bola Indonesia!
Tak ada jiwa
revolusioner demi rakyat seperti seorang Tan Malaka dalam diri sejumlah
pengurus yang bertikai. PSSI, organisasi besar yang didirikan demi persatuan
itu seperti lebih menyukai perseteruan penuh intrik yang juga menjadi ajang
permusuhan. Apalagi, untuk kali pertama dalam sejarah, PSSI pecah dengan
kemunculan Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI)cdan ada dualisme
kompetisi yang saling "bermusuhan". Rakyat pun jadi korban, karena
prestasi emas olahraga yang dicintainya tak kunjung tiba.
Di tengah
kekacauan itu, sosok Tan Malaka hingga saat ini memang terus menjadi
kontroversi. Jasadnya pun masih merupakan misteri. Namun yang pasti, warisan
kecintaan, perjuangan, dan pemikirannya tentang sepak bola itu pantas dipuji.
Warisan itu akan tetap kekal di dalam tanah Nusantara yang kaya akan sejarah
emas sepak bola. Permainan indah yang sekarang ini lebih banyak disuguhi
pemeran basi sejumlah pengurus olahraga mirip politisi yang hati nuraninya
telah mati.
0 komentar:
Posting Komentar