Malam itu, 20
September 1987, papan skor di Stadion Senayan masih menunjukkan angka 0-0
hingga menit ke-90. Di dalam stadion yang terletak di jantung kota Jakarta
tersebut, 22 penggawa Indonesia dan Malaysia "bertarung" sengit untuk
menorehkan nama negaranya di partai puncak cabang sepak bola SEA Games. Ratusan
ribu penonton pun berharap cemas dapat menjadi saksi mata torehan kisah emas
sepak bola Indonesia.
Peluit panjang
wasit ditiup pada menit ke-90+2. Laga kemudian dilanjutkan dengan babak
tambahan. Menit ke-105, menyisir dari sayap kanan dengan ditempel satu bek
Malaysia, gelandang Ribut Waidi menggiring bola dengan lincah. Lepas dari
kawalan, pemain lincah berambut ikal itu kemudian melepaskan tembakan mendatar
ke gawang Malaysia. Gol! Sontak histeria 120.000 pendukung yang memadati
Stadion Senayan serta jutaan penonton televisi nasional tumpah ruah.
Gol dari kaki
Ribut itu akhirnya mampu memberikan medali emas pertama bagi Indonesia di ajang
SEA Games. Ribut kemudian diarak mengelilingi lapangan oleh penggawa timnas
lainnya. Saat lagu "Indonesia Raya" dikumandangkan di lapangan, hanya
satu yang ia rasakan, yaitu rasa bangga luar biasa karena dapat mengharumkan
bangsa melalui sepak bola.
Ribut Waidi yang mencetak gol satu-satunya di gawang Malaysia
Apalagi,
kemenangan itu terasa sangat manis karena Indonesia akhirnya sukses di bawah
bayang-bayang pahit SEA Games 1979. Saat itu, di stadion, bulan, dan lawan yang
sama pada final SEA Games, Indonesia diempaskan Malaysia 0-2 pada 30 September
1979. Memang, jika bertemu tim asal negeri jiran tersebut, pertandingan bukan
lagi sekadar laga biasa, melainkan pertaruhan harga diri bangsa.
"Waktu
itu jalannya pertandingan memang sangat menegangkan. Yang lebih menegangkan
lagi, gol itu terjadi pada menit ke-15, perpanjangan waktu. Meski saya anak
ndeso, saya sudah ikut memberikan yang terbaik bagi bangsa ini melalui sepak
bola," kenang Ribut atas golnya tersebut.
Anak desa
menjadi legenda
Melihat
sepenggal kisah tersebut, Ribut Waidi memang pantas dikenang sebagai legenda
sepak bola Indonesia. Lahir di Pati, Jawa Tengah, 5 Desember 1962, Ribut sejak
kecil memang mengidolakan sepak bola. Karena kecintaannya terhadap sepak bola
itulah, ia akhirnya memutuskan untuk serius menggeluti dunia tersebut.
Ribut
mengawali karier sebagai pesepak bola bersama PS Sukun Kudus pada 1976 hingga
1980. Setelah itu, gelandang bertubuh kecil kurus itu melanjutkan
petualangannya bersama Persiku Kudus (1980), PS Kuda Laut Pertamina Semarang
(1981-1984), dan PSIS Semarang (1984-1992). Pada era 1980-an, bersama PSIS,
karier Ribut pun melesat di Tanah Air.
Pada 1987,
nama Ribut seketika melambung, setelah sukses mengantarkan "Mahesa
Jenar"—julukan PSIS—menjadi juara Liga Perserikatan seusai menaklukkan
Persebaya Surabaya dalam partai final yang digelar di Stadion Senayan. Ia
tampil sangat cemerlang dan gigih dalam laga itu. Meski gol tunggal kemenangan
PSIS dicetak oleh Tugiman, Ribut berhasil mencatatkan namanya sebagai pemain
terbaik dalam laga tersebut.
Ribut Waidi saat
membela PSIS Semarang (1984-1992)
Berkat
kesuksesannya itu, perjalanan Ribut berlanjut ke level lebih tinggi bersama
timnas Indonesia. Ketika itu, timnas "Garuda" memang sedang membangun
proyek besar untuk membangun tim untuk kejuaraan internasional. Bagaimana
tidak, sebelumnya Indonesia selalu mengalami kegagalan di level Asia Tenggara.
Bahkan, di laga terakhirnya, Indonesia dibantai Thailand 0-7 pada final SEA
Games 1985.
Sosok di balik
kesuksesan itu memang tak lepas juga dari andil Pelatih Bertje Matulapelwa.
Mendiang yang dijuluki "Sang Pendeta" itu mampu menyatukan sejumlah
pemain Galatama dan Perserikatan, yang ketika itu dirumorkan tidak akur.
Talenta berbakat dari Perserikatan, di antaranya Ribut, Robby Darwis, dan Budi
Wahyono, dipadukan dengan pemain dari Galatama, seperti Ricky Yakobi dan Nasrul
Koto.
Walhasil, tim
itu meraih kesuksesan pertamanya saat mampu menjuarai Piala Kemerdekaan III
setelah mengalahkan Aljazair XI 2-1 pada 1987. Timnas unggul lebih dulu berkat
gol Ricky Yakobi pada menit ke-26. Namun, satu menit menjelang akhir
pertandingan, Aljazair berhasil membalas melalui Amar Kabrane. Laga dilanjutkan
ke babak tambahan. Dan, dari kaki Ribut pada menit ke-103, Indonesia akhirnya
mampu menjuarai turnamen tersebut.
Kepahlawanan
Ribut kemudian berlanjut di ajang yang lebih bergengsi, yakni SEA Games 1987.
Gol tunggalnya di partai puncak tidak hanya mengantarkan Indonesia berhasil
meraih medali emas pertamanya. Namun, Indonesia yang sebelumnya hanya menjadi
juru kunci di kualifikasi Olimpiade 1988, di bawah Jepang dan Singapura, mampu
unjuk gigi kepada dunia!
Gol itu tidak
hanya menciptakan sejarah manis bagi sepak bola Indonesia, tetapi juga menjadi
kenangan indah bagi Ribut secara pribadi. Bahkan, tak tanggung-tanggung,
Pemerintah Kota Semarang sempat mendirikan patung Ribut Waidi yang sedang
menggiring bola di Jalan Karang Rejo, Semarang. Setelah pensiun dari sepak
bola, Ribut bekerja sebagai karyawan PT Pertamina. Namun, kecintaannya terhadap
sepak bola tak luntur karena beberapa kali dia bermain di sejumlah turnamen di
kota-kota kecil di pantura.
Suri teladan
Minggu
(3/6/2012), Ribut (49) berpulang kepada Yang Mahakuasa karena penyakit jantung
yang dideritanya. Jutaan pencinta sepak bola berduka ditinggal sang legenda.
Memang, tak seorang pun pencinta sepak bola Tanah Air boleh melupakan jasa-jasa
salah seorang pahlawan sepak bola Indonesia ini dalam mengharumkan nama bangsa.
Bahkan,
melihat perjuangannya itu, rasanya pantas jika Ribut dijadikan contoh bagi
sejumlah pesepak bola nasional saat ini. Apalagi, sekarang ini, di lingkup
ASEAN saja, timnas Indonesia tidak menjadi tim yang patut disegani. Sejak emas
terakhir SEA Games 1992, kegagalan kerap menghampiri skuad "Garuda".
Tak ada lagi sebutan "Macan Asia" bagi timnas Indonesia terpampang di
media nasional dewasa ini.
Karena hal
itulah, keseriusan dan semangat nasionalisme yang dimiliki sejumlah pemain dan
pengurus sepak bola Indonesia sangat wajar dipertanyakan. Perseteruan pengurus
dan klub yang berimbas kepada sejumlah pemain terus menambah panjang rentetan
masalah yang tak kunjung usai. Muara persoalan itu sudah dapat ditebak, yaitu
menjadikan prestasi timnas mati suri.
Memang saat
ini kondisinya sangat jauh berbeda. Sekarang sepak bola dapat menjadi ladang
pekerjaan menjanjikan dengan keuntungan yang sangat menggiurkan. Akan tetapi,
motivasi pada zaman Ribut, pemain tak pernah memikirkan materi, tetapi hanya
untuk membawa Indonesia dapat disegani di tingkat Asia dan dunia. Itu yang tak
pernah ditiru.
Kini, meskipun
engkau sudah tiada, torehan emasmu akan tetap kekal di atas rumput Stadion
Gelora Bung Karno dan benak jutaan rakyat Indonesia. Semoga kebesaran dan
kenangan indah yang ditorehkan 2,5 dekade silam itu dapat selalu menjadi
teladan bagi penggawa timnas dan pengurus sepak bola yang tengah berseteru.
0 komentar:
Posting Komentar